POLA HIDUP SEDERHANA



بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.Q.S. Al-furqon/25 ayat 67.

Bila kita baca mulai dari ayat 63-67 al-furqon ini jelas tergambar bagaimana yang disebut kehidupan seorang hamba Allah Yang Maha Pengasih tersebut. Dalam tafsir Ibnu Katsir beliau mengulas sbb, “ayat-ayat ini melukiskan sifat-sifat dan cara hidup yang hendaknya dimiliki oleh hamba-hamba Allah yang mukmin yang akan memperoleh derajat dan martabat yang tinggi disisi Allah. Mereka itu disifatkan oleh Allah bahwa mereka berjalan diatas bumi dengan rendah hati, jauh dari sikap yang menandakan kesombongan atau mengesankan seakan-akan memandang rendah terhadap sesamanya dan jika dalam perjalanan mereka diganggu oleh orang-orang jahil dengan kata-kata atau perbuatan yang tidak berkenan di dalam hati mereka, maka mereka tidak akan membalas tindakan itu dengan tindakan yang serupa. Tetapi akan membalasnya dengan kata-kata yang sedap dan manis serta perbuatan yang mendidik dan membimbing. Diwaktu malam hamba-hamba Allah itu tidak menghabiskan waktunya hanya tidur belaka, tetapi mereka menyela-nyelanya dengan beribadah kepada Allah, bertahajud dan berzikir menyebut Asma’ Allah seraya bersujud dan berdiri. Mereka selalu bermohon kepada Allah dan mengucapkan dalam do’a mereka; “Ya Rabb kami, hindarkanlah dari kami azab neraka jahannam. Sesungguhnya azab jahannam itu adalah kebinasaan dan seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman”. Hamba-hamba yang mukmin itu apabila membelanjakan hartanya, tidak berlaku mubazir dan boros untuk menonjolkan kekayaannya dan tidak pula kikir, dikarenakan kecintaannya yang sangat kepada hartanya, akan tetapi mereka berlaku wajar menurut kebutuhan, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu menahan diri. Demikian didalam tafsir Ibnu Katsir.     Sekarang kita fokuskan kepada “Hidup sederhana”. Sederhana tidak ada ukurannya yang pasti, karena ini menyangkut moral seorang hamba dihadapan Robb-nya. Misalnya seorang nelayan hidup dengan sebuah rumah gubuk dan sebuah perahu, lalu kita banding dengan seorang Bupati dengan rumah gedung dan mobil mewahnya, ini kan sangat kontras. Bila ditanya kepada kita, siapa yang hidup sederhana diantara keduanya, tentu kita akan menjawab, nelayanlah yang hidup sederhana. Padahal mungkin menurut Bupati dia sudah sederhana sesuai dengan kemampuan ekonominya. Jadi akan terjadi debat kusir diantara kita. Namun bila kita berkaca kepada ayat-ayat tersebut diatas, pola hidup sederhana tidak hanya ditinjau dari sisi penggunaan harta semata, sebab sederhana juga bisa diartikan sedang-sedang saja, sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan manusia secara garis besar ada dua,
pertama, kebutuhan jasmani, seperti makan dan minum, pakaian, rumah, kendaraan dll. Kedua, kebutuhan rohani, seperti memberikan ilmu Allah kepada diri sendiri dan orang lain, kebutuhan akan rasa aman dan tenteram.
     Hal itu akan terwujud dengan cara, Pertama;  bersikap haunan, rendah hati (low profil), tidak sombong. Rendah hati akan tercermin dari tutur kata yang santun, kata-kata yang mengandung kebajikan, lalu dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan, disebutlah dia orang bijak karena kebajikannya. Karena dia bijak tidak akan berdebat dengan orang jahil dengan cara jahil pula, tapi dengan kata-kata yang baik, berkualitas, sesuai dengan ajaran Islam (salaama). Kedua,  melalui malamnya dengan sikap sujud dan berdiri demi Robb-nya. Sujud adalah lambang ketaatan kepada Allah/petunjuk-petunjukNya dalam segala keadaan, tidak hanya taat ketika di masjid, ketika dihadapan orang lain, tapi dalam kesendiriannyapun tetap istiqamah (qiyaama). Karena hal itu sudah menjadi kebutuhan rohaninya. Sudah menjadi gaya hidupnya. Ketiga, aspirasinya, do’anya bersifat ukhrawiyah, tidak duniawiyah, karena dia tahu mana sarana dan mana tujuan, tujuannya adalah menyelamatkan diri dari azab jahannam. Sebab dia tidak mau binasa selamanya.  Keempat, orang-orang yang membelanjakan hartanya tidak berlebihan, foya-foya, tapi ada skala prioritas, sesuai kebutuhan, tidak ada yang mubazir. Orang zaman sekarang banyak menggunakan hartanya untuk hal-hal yang tak bermanfaat, seperti kado bunga yang harganya mahal, umbul-umbul, baleho, mengkoleksi pakaian dan asesoris orang terkenal, keramik dan lukisan mahal,  buku atau majalah-majalah porno, memelihara binatang yang tak perlu sehingga menghabiskan uang tak terhitung dll. Padahal bila uang untuk itu dikumpulkan dan dibagi-bagikan kepada yang miskin, mungkin sudah bisa menghidupi orang sekampung, sehingga mereka terbebas dari belenggu kemiskinan. Sebab harta pada hakikatnya adalah milik Allah (maalilaah), maka penggunaannyapun haruslah menurut cara Allah sebagaimana firmanNya,
 وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ

Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah.Q.S. Al-baqarah/ 2 ayat 272.
Baru disebut harta bila ia menyelamatkan kita, kalau tidak itu namanya azab. Oleh sebab itu agar tidak jadi azab, gunakanlah dijalan Allah, menurut cara Allah, jangan cara sendiri.
Kelima, orang-orang yang tidak menyembah dan memuja ilah lain beserta Allah (tidak syirik). Dia tahu siapa yang pantas dipuja sehingga jadi pujaan hati atau idolanya. Dengan berbuat demikian dia telah menghemat energinya, menyederhanakan permasalahannya, sehingga tidak  banyak waktu, tenaga, fikiran dan hartanya yang terbuang percuma yang akan membuat penyesalan dihari kemudian. Keenam, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan al-haq (yang benar/demi tegaknya hukum Allah). Membunuh jiwa (nafs) bukan saja secara fisik, tapi juga bisa berarti mematikan potensi diri, orang sekarang menyebutnya pembunuhan karakter, rohnya tidak diberi siraman ayat-ayat Allah, sehingga dia telah mati secara rohani alias mayat hidup. Nah, hal itu tidak akan dilakukan oleh ‘ibaadurrahman. Inilah pola hidup sederhana gaya hamba Allah Yang Maha Pengasih.
Keenam,  mereka yang tidak mengumbar selera hewaniyahnya (sex bebas/zina), sebab dia tahu pasti akibatnya yaitu akan membinasakan dirinya sendiri. Itulah sebabnya dia menikah sebagai solusi syahwatnya. Sekian, wassalam.

Oleh : Fakhrur Rozi