kumpulan Puisi-Puisi, Sajak,kisah cinta, Oleh : Ema @topeng2kaca

 

 

 

 

 

 

di rumah baru-mu

satu-dua gagak bercokol pada tiang-tiang penyangga
mencengkeram baja seperti mangsa, mengantarkan kesakitan
yang ditawarkan ayat-ayat para kyai ke dadaku
; mengintai desah tawa, memupuk kelelahanku

di rumah barumu
aku seperti hantu tanpa mata dengan rongga menganga
menjulurkan belatung — bayi kebencian terlahir dari neraka legam
di mana jantungku berada

di rumah barumu
aku mengamini doa-doaku sendiri

(Masih) Perihal Kehilangan

yang terpaku pada geliat detak jam
dinding, waktu
derap kakimu menggemakan
ujung-ujung gang buntu
yang terpenjara pada kepergianmu,
kehilangan
kecemasan yang disuarakan
berulang-ulang
“tak ada yang setabah langit
mengulang kehilangan” katamu
maka di sinilah, pada senja
yang memudar, aku berjaga
dan menuliskanmu dalam
sebait sajak
:ulir hujan di kaca jendela
sementara udara
mengeringkan doa-doa
daun-daun rapuh melayangkanmu
sebelum ia terjatuh

Dentang jam Dinding dan Kehilangan

pada geliat detak jam dinding
aku terpaku

waktu,
memperkosa kecemasanku
tentang derap langkah kaki yang bergema  di ujung-ujung gang buntu
.
ada yang memenjarakan suara kepergian di latar jalan
seakan-akan kehilangan terus berulang
..
maka di sinilah aku berjaga;
mengawasi senja memudar perlahan
sebab, katamu, langitlah yang kerap tabah mengulang kehilangan
..
aku menuliskan kau dalam sebait sajak
sebagai ulir hujan di kaca jendela
dan udara yang mengeringkan doa-doa
atau tentang desir angin yang menggugurkan dedaun rapuh
–melayangkannya, sebelum ia jatuh
.
detik jam terus merekam ingatan
sementara kita tak henti mencoreti dinding di baliknya dengan cerita, sentuhan, pelukan, ciuman, birahi, surga tanpa bumi yang melahirkan tawa, kesenangan, kebahagiaan, harapan dan mimpi mimpi. semu. ya, semu, kau tahu –kita sama tahu– segala kenangan yang terlahir dari dada dan hinggap di kepala ini kelak akan menjelma menjadi hantu-hantu masa lalu yang tanpa belas kasihan segera mencengkeram malam demi malam kita menjadi neraka tanpa api. hanya ada sepi
abadi
.
dentang jam pada dinding memberi tahu kita ada yang telah datang

maka kusiapkan beberapa pelukanmu di ingatan, sebab kutahu
hari-hari mendatang akan hujan
dan kau
tinggal kenangan

Pada Suatu Sore

di serambi pada suatu sore
saat matahari belum berubah terlalu merah
dan burung-burung belum tergegas terbang pulang;

kita duduk berayun kaki sembari menanti kudapan tersaji
anak-anak berlarian di hadapan dan terjatuh sesekali
bungsu menangis memohon uluran tanganmu –atau aku, tapi tak kau bolehkan
aku beranjak menariknya berdiri
“bangkitlah, nak. kau jatuh atas langkahmu sendiri, hentikan jerit tangismu. kegagalan takkan terasa begitu menyedihkan jika tak terus kau ratapi. berdiri dan tegapkan badanmu kembali. berlarilah hingga kau terjatuh lagi, berulang kali, hingga kesakitan tak mampu menghadirkan tangismu.”
ia terlalu muda untuk mengerti kenapa ayahnya tak mau membantu
tak juga cukup tua untuk pahami mengapa airmata boleh saja terjatuh asal tak terlalu lama menggayuti dagu
tapi toh tetap saja ia hentikan sesenggukan
mengusap ingus dengan tangan penuh tanah
–entah agar dikira berani atau karena bocah-bocah yang tak berhenti berlari telah memulai pesta tawa lain tanpanya. siapa tau ia paham, kebahagiaan tak menunggu tangis yang tak diam
segera di hadapan kita hanya tinggal kepulan debu dari derap yang terburu-buru

aku melirik diam-diam
: matamu tinggal garis tersanggah pipi putih bulat yang diangkat senyuman lebar
detik itu kutau, betapa surga sesungguhnya berasal dari rahim yang kau buahi:
rahimku

setetes air jatuh tepat di atas kepalamu
kulihat langit kelewat merah untuk senja yang biasa
maka kusudahi dongeng kali ini
kuseka basah dari kepala pusaramu dan kukecup tepat di pucuk

di serambi pemakaman  pada suatu sore
saat matahari telah berubah terlalu merah
dan burung-burung tergegas terbang pulang;

samar tawa anak-anak menggema di kepala
: sebuah pesta telah dimulai tanpaku
dan aku tak peduli

Pada Sebuah Kesedihan Pertanyaan Hilang Bentuk


bagaimana bisa kesedihan terasa begini menyiksa?
***
aku tahu bahwa tak sebaiknya puisi di awali dengan tanda tanya
sebab bukankah puisi sendiri adalah pertanyaan  tanpa jawaban?
tapi toh aku tetap mengawali bait demi bait puisi ini dengan kalimat tanya yang kutau
takkan pernah kutemukan jawaban
atau barangkali aku memang tak pernah berniat mencari
sebab kesedihan bisa saja dicipta untuk alasan apapun
atau bahkan tanpa alasan apapun
: selain candu

Lilith. Abitu. Abizu. Hakash.

kita telah sampai, pada akhirnya
di hari-hari yang belum kita kenal namanya;
saat bagiku senja tak lagi jingga tapi merah
darah, bagimu angin tak bertiup namun berpuyuh
meluruh, luluh-lantakkan segala yang kita sangka mungkin tak kekal tapi takkan pernah tanggal;
cinta
kita


Yang Membuatmu Jatuh Cinta

ada yang kau sukai;
sepasang lesung di pipi
sederet rambut berponi
andeng-andeng di jari

Setidaknya Kita [pernah] Bahagia

dua puluh dua lewat tiga.
aku menatap ketiadaan. meramu kulit-kulit ingatan. mengadakan apa yang sesungguhnya tak ada; kau.
**
asap mengepul. membentuk lingkaran tak sempurna lalu membaur bersama udara dan debu. kau menarik tubuh sampai duduk.
“kita punya Langit. memintalah, dan Ia ‘kan melapangkan harapanmu.”
“aku minta kita.”
hening. Langit tak menjawab, pun kau.
pakaian-pakaian yang terserak di lantai, di bahu kursi, di atas lampu meja, dipunguti satu-satu. penanda kesenyapan malam sebentar tiba. segera setelah baju lengkap dikenakan. jejak parfum ditiadakan. acakan rambut dirapihkan. kau, kembali menjadi angan tak terengkuh.
“mau ke mana”
“pulang, sayang. sudah larut”
“aku masih kangen.”
“jangan serakah. waktu tak menunggu kita menuntaskan keegoisan.”
satu kecupan di kening. ciuman basah tergesa. lalu debam pintu. selebihnya, kesepian memangsaku dengan begitu garang.
kau pindahkan dingin padam tungku ke dadaku, setiap kau melintas jalanan batu; selepas nyala birahi kita mereda.
**
baileys — kopi susu beralkohol 40%. gelas ketiga.
detik-detik terbang bersama ingatan yang semakin merdeka; menjelajah ruang berdebu di kepala. menghembuskan angin — menghembuskan kau kembali. pada kenangan-kenangan yang jauh. jauh. memabukkan.
**
“sayang, aku hamil.”
“apa?! bagaimana bisa?”
“kau lelaki. aku wanita. kau punya sperma. aku punya indung telur. sederhana.”
“tapi aku punya keluarga!”
“akupun.”
“keluarga! istri dan anak-anakku!”
“keluarga; ayah dan ibuku. dan mereka punya muka, untuk diselamatkan dari kisah bodoh anak gadisnya yang hamil tanpa suami.”
“sayang, mengertilah, ini tidak sesederhana itu.”
“aku tau. maka itu aku memberitahumu.”
“ah.. gila!”
“ya. gila. aku nyaris gila.”
“sayang, kita harus membereskan ini. meniadakannya.”
**
aku beranjak.
sebentar malam dihabisi ungu fajar dan seorang bocah akan terbangun gemetar. aku telah bersumpah untuk menjadi tepian mimpinya sebelum pagi menjemput lebih dulu. selalu. sudah selama dua ribu lima ratus dua puluh tujuh kali terbit matahari.

unfound

“aku pergi.”
“ke..?”
“entah. langit yang akan memastikan arah perjalananku.”
“jangan, kumohon. jangan pernah berada di tempat yang aku tak kuketahui keberadaanmu.”
“harus. agar kesakitan tak lagi mampu merengkuhku.”
“kumohon.. tetaplah di sini. di pelukanku. aku membutuhkanmu. biar segala kepedihan kumatikan dengan pelukan.”
“kaulah kepedihan itu. aku pergi, darimu.”

Ini Tentang Kita

seperti cinta,
kau bermula dari hampa
melamba perlahan, menjejakkan bunyi
pada sunyi
seperti halnya cinta,
kau ada dari tiada
berawal pada akhir
meniadakan getir
seperti inilah cinta,
padamu, apa yang kusebut Surga.

Pada Hari Pernikahanmu Nanti

Puisi by Disa Tannos
Suatu hari nanti kau akan menikah dengan laki-laki baik. Bukan karena kau perempuan baik (sebab kau suka bilang kau bukan perempuan baik), tapi karena kau teman yang baik. Maka teman-temanmu akan mendoakannya bagimu dan Tuhan akan mengabulkannya.
Di pernikahanmu aku akan memakai gaunku yang terbaik. Bukan celana jeans dan sneakers. Bukan sesuatu yang kupakai karena tak punya pakaian lain. Tapi sesuatu yang telah kucari berminggu-minggu. Lalu aku akan berdandan yang manis. Bukan sekadar polesan lipstik dan eyeshadow seadanya. Kau tak pernah melihatku berdandan semanis itu sebelumnya.
Aku akan menuliskanmu sebuah sajak dan membacakannya sendiri. Sajak itu kelak kausimpan di laci kamar dan kautunjukkan pada anakmu saat dia remaja. Nanti aku pasti berharap kau menangis sedikit—tapi mungkin itu berarti aku teman yang egois karena pasti make-up-mu juga luntur sedikit.
Saat menyalamimu di pelaminan nanti, aku akan berbisik pada suamimu: jaga dia baik-baik. Sebab dia teman yang baik. Kata-kata yang sama dengan yang kubisikkan pada Tuhan. Telah kulakukan dari sekarang, meski tidak setiap hari.
Kau akan menjadi perempuan paling bahagia dengan kehidupan yang baik. Entah kapan, tapi akan.

Cinta di Ujung Malam

Hari sudah terlalu renta,
mimpi-mimpi selayaknya kita akhiri di sini
Sebelum ada luka, sebelum bahagia terlupa
*
Hari sudah terlalu renta,

usahlah kau titipkan khayalan-khayalan yang tak lagi diperlukan

Dongeng sudah habis diceritakan
*
Hari sudah terlalu renta!!

matikan saja lampu dan kunci pintu

Aku takkan kembali

sebelum habis usia ingatan di kepalamu!,
Katamu
Debam pintu lantas meredam suara ketiadaan
Letupan biarahi mati di selangkangan
Aku,
Padam
 

Catatan Kaki

Baru saja, kotamu kutinggalkan
Bayang-bayang yang berjaga di peron dua
Masih terkenang di ingatan
Sayang, airmataku, jadikah tadi kau bawa ?
January, 2012

Sebab Aku Berdosa

Di sini aku bernyawa sebagai sumbu
Kali ini aku memahami kau sebagai bara
Terbakarlah, Cinta!
Hanguskan aku yang berdosa
Menjadi abu,
Menjadi tiada.

Tuan, Anda Punya Api [?]

kalau Tuan berkenan saya bisa melayani
di ujung bukit,
keheningan menyayat diri
sunyi membelit
alir sungai meriap di bawah nadi
.
mungkin Tuan kesepian
ranjang berderit mengiramakan malam
desah nafas tertahan membahasakan jeritan
nurani terjepit di antara belahan kulit
.
bisa jadi Tuan kedinginan
di depan tungku wanita tua mendudukkan pantat besarnya
di lantai, nyala merah menari-nari di wajahnya yang pasi
menunggu jam dinding berdentang dua belas kali
pisau di tangan kiri
sebuah senyuman tersungging miring
.
tapi Tuan tidak harus pulang
ini bukan malam, bukan pula siang
langit terlalu muram untuk memadamkan lampu
awan menggerakkan badannya menjauh
seekor burung berdiam di atas ranting
mengawasi seorang lelaki yang bergegas melintas
.
tak ada pelukan menanti Tuan
sebilah pisau terhunus di dada kaku
darah membeku di antara kaki
di depan perapian
.
Tuan,
saya punya birahi
anda punya api [?]
nyalakanlah,
kita berpesta di neraka

Selepas Birahi

kau pindahkan dingin padam tungku
ke dadaku, setiap kau
bergegas melintas jalanan batu
– selepas nyala birahi mereda
Jakarta, 2011

Biarkan Saja Kesedihan Tinggal Sebagaimana Mestinya

sengaja kumatikan lampu
agar tak kulihat ketiadaanmu
di setiap malam-malamku
Jakarta, 2011.

KEPEDIHAN

sepasang ikan
berenang di telaga mata kenangan
; berputar putar tak menemu tepi
selain sunyi.
Jakarta, 2011

Kita Belum Sepakat Menamainya Cinta

kuingatkan kau di bait pertama:
aku tak bisa membuat sajak cinta
mungkin akan ada yang terkulum
ah, biar kuartikan saja itu sebuah senyum

.
mari kita masuki bait kedua
aku akan mulai bercerita
tentang perjumpaan pertama kita
-dan kali selanjutnya
di hari-hari yang telah kulupa namanya
apakah itu senin atau selasa
bisa jadi juga sabtu, malam minggu
tapi masihkah penting nama hari bagimu,
-sedang bagiku, aku telah lupa waktu
sejak menatap matamu

.
telah kutuliskan bait satu dan dua
kau akan segera membaca bait ke tiga
dan jariku mulai gemetar
dadaku makin berdebar-debar
aku mencoba berpikir ulang
perlukah perasaan ini kutuang
mestinya tak usah kutuliskan puisi
baiknya kurobek dan kubiarkan kata-kata mati
tapi ini bukan kertas dan tekadku sudah mengeras
ada yang harus tersampaikan, sebelum senja ini mengentas
dan segala mimpi lekas terlepas
.

mulai kuingat, waktu itu hari jum’at
kita bercengkrama di bawah tugu batu
–rasanya hanya ada kau dan aku
kau banyak bercerita
aku banyak tertawa
bagiku malam masih panjang
tapi jam dinding di rumah pasti sudah berdentang
pagi sebentar menjelang
kau masih asyik makan indomie
lalu merayuku dengan telur sebulat bulan
agar aku tak jadi pulang
kutunda dengan sebatang nyala api
kau bilang satu bungkus lagi
tapi aku tetap harus kembali
dan bersumpah akan menemuimu lain kali
.
duh,
aku lupa ini bait keberapa
bisakah mari kita abaikan tentang baris dan rima
sebut saja ini bukan puisi
aku hanya mampu menuliskan isi hati dari sini
untuk mengucap kata yang tak mampu bersuara
setiap kali kita bertatap mata
.
ada getar di setiap kali kita tak berjarak
ada geliat di dasar hati ketika kita bersama
ada yang bernyanyi saat kita punya janji jumpa
ada sepi setiap kau tiada
ada namamu di jeda sajakku
ada denyutmu di nadiku;
kau di jantungku
–entah sejak kapan
.
maka biar kukatakan padamu, kini
meski kita belum sepakat menyebutnya apa
pun diriku tak ingin tergesa menamainya cinta
– untuk ia yang telah lama berdiam di hati
atau mungkin, lelakiku,
kau bersedia memberinya nama?

Cinta Sudah Mati Baru Saja Tadi

aku dan teriakan-teriakan hening
panjang berdentang-denting
dalam rindu yang bersahutan
tanpa lagu, tanpa nyanyian
sayang,
ini bahkan bukan puisi
sekedar racauan sunyi
aku bahkan tak lagi dapat kau temui
cinta yang sempat terlahir dari rahim waktu
kini bernama masa lalu,
sudah mati — baru saja tadi
di depan pintu yang kau banting
hingga sisa tawa terpelanting
lalu jatuh di ujung sepatu
bisu
membeku
mati.
###

Ibu, Aku Hilang Akal

Ibu,
Malam tadi tadi aku mengigau
–Entah tentang apa
Kata temanku, aku hanya tertawa
Terbahak-bahak lantang
Seperti hilang
Akal. Lantas mulai tersedu-sedu
Menangis. Merintih. Menjerit. Meraung.
Pilu.
–Tanpa kata kata
Ibu,
Bahkan di dalam ketak-sadaranku, aku
Seperti hilang
Akal.

Biarkan Rindu Bermain di Dadamu, Malam Ini

: lelaki pulau dewata

kuterbangkan rindu hingga mengepak
sampai di mimpi
biarkan sejenak berputar mengitari
untuk lantas berlalu
kutarikan sebuah gemulai tanpa gerak
bersenandung tanpa suara
melukis tanpa kanvas
-masih tentang rindu
hingga bila fajar menggenang di langit balimu,
kan kau temukan aku
bukan untuk kembali kau cintai
– sebab cukupkan satu cinta dariku, maka semesta kelak mengamini kebahagiaanmu
bila matahari dewata mengurai rambut-rambutnya
sampai matamu silau memincing
nyaris terpejam, itulah aku
mengecup segaris mata sipitmu
;hendak mengucap rindu,
ingin membisikkan kelu
di sanalah, cinta
aku menyapa selamat pagi untukmu
melalui bisik angin,
irama tetes embun,
denting gesek dedaun,
–nguapan kalam
biarkan saja, sayang
kali ini rindu bermain sepuas hati di dadamu
malam ini saja.
seperti kantukku yang bebas bermain
di dekapmu, malam itu.
Bukan untuk kembali kau cintai
– sebab cukupkan satu cinta dariku, maka semesta kelak mengamini kebahagiaanmu
Hanya untuk sekejap kau kenangkan aku
kemudian, lagi
biarkanlah berlalu.

Bunga Kuning Muda Di Samping Jendela

Di samping jendela kuletakkan bunga
Yang kelopaknya berwarna kuning muda
Di tengahnya ada putik sari
Yang bila kau cium akan berbau wangi
Ini bukanlah puisi tentang cinta
Atau sajak patah hati
Bukan di sini kau bisa mencari Tuhan
Apalagi tentang keimanan
Aku hanya ingin bercerita tentang setangkai bunga
Yang kuletakkan di pinggir jendela
Yang ditengahnya ada putik sari
Dan wangi
Setangkai bunga,
Yang kemarin malam kubawa pulang
Dari taman pemakamanmu
Sayang
Kuambil bungamu satu
Sebagai peneman sepi-sepiku
Penadah tangis piluku
Pengusap ketiadaanmu
Sayang
Kamu,
Tidurlah tenang

Jika Kelak Aku Benar Pergi Semata Karna Aku Ingin Mencintaimu Lebih Baik Lagi

bukankah sudah pernah kuceritakan kepadamu
tentang wanita bermahkota api yang menyanggul badai di kepala
pun tentang lelaki berjari duri, melilitkan petir di dada
yang dari tubuhnya memancar cahaya lebih terang dari benderang

.
atau mungkin, aku tak pernah bercerita tentang apa-apa
-bukankah kita tak pernah lagi saling bicara
dan mereka tak pernah ada
.
atau,
mungkinkah dia adalah aku dan sang pria
adalah kau. di tubuhku, selalu ada api untuk membakarmu
dan juga duri untuk menyayatku
di tanganmu
.
bukankah diantara kita selalu tercipta badai
sengaja menggariskan pijar petir berantai, semata hanya untuk saling
meleburkan hati masing-masing
..
“bukankah ini cinta, katamu sayang, lalu badai dan petir ini, kita cipta untuk apa ?”
..
kita tak lagi pernah bicara,
namun biar kuberujar sekali lagi sebelum semesta benar-benar gagu
dan kita kehabisan waktu,
jika kelak aku benar pergi, semata hanya aku ingin mencintaimu lebih baik lagi
;tanpa petir,
api,
duri,
dan badai.

 

Ada Yang Selalu Yang Mungkin Kau Tak Tahu

ada yg selalu datang bersama fajar
;meniupkan wangi bunga, menampung kesegaran embun — ialah dia yg selalu ingin kauingat setiap pagi
ada yg selalu menaungimu dengan keteduhan
;ketika siang beranjak terik — ialah dia yg selalu mendoakan keselamatanmu dari kejauhan
ada yg selalu mengendap dalam senja
;menggeletar di udara — ialah dia yang selalu menyambutmu dengan senyum setiapkali kau tiba
ada yg selalu turun bersama gelap nun di langit sana
;ketika maghrib menggema — ialah dia yg rela merentangkan sayapnya sebagai cahaya
ada yg selalu menyelusup serupa dingin
;yang meningkap beranda dan jendela — ialah dia yg sepanjang malammu terus-menerus berjaga
ada yg selalu menjaga keheningan nafasmu
;dari mimpi buruk yang ingin menyentuhmu — ialah dia yg telah lama hidup dalam nadimu
ya, ada yang selalu mencintaimu, yang selalu sedekat hidupmu, ialah dia — yang barangkali tak pernah kau tahu.

di Bibirmulah Hendak Kutitipkan Matahari

September 20, 2010
Leukemia. Tahap akut. Lima bulan tersisa.
Berpuluh-puluh kali pingsan dalam sehari. Mimisan berulang kali. Nyeri di seluruh sendi.
Lima gejala akhir: bintik merah di tubuh, menggigil di setiap subuh, pendarahan gusi. Tubuh membiru akibat sesak. Bintik merah di selaput mata.
Kulafalkan berulang. Berulang-ulang. Aku mulai menghitung hari.
September 23, 2010
Takkan lagi memakai seprai putih. Noda darah tercetak jelas seperti bercak perawan. Sulit sekali hilang.
September 29, 2010
Hampir saja, maut menjemput lewat kereta pengangkut saat tetiba pingsan di pinggir stasiun. Kupikir Tuhan mengajak bercanda.
Oktober 13, 2010
Ulang tahunku. Jangan sekarang, Tuhan. Hapuskan dulu ngilu itu.
Oktober 22, 2010
Ada! Akhirnya muncul juga. Bintik sebesar koin gocapan di paha kiri. Untung dia terlelap, tak perlu tau ini.
Oktober 30, 2010
Ah, hanya perlu membeli beberapa potong baju dan celana. Oke, seluruh isi lemari ternyata harus diganti. Tak apa, toh kami memang perlu penampilan baru.
Desember 31, 2010
Tak apa. Tahun baru tak perlu pesta, cukup berdoa dalam hati. Kita lebih butuh jawaban Tuhan dibanding kembang api. Tahun depan saja, kita siapkan pesta. Barangkali.
Januari 11, 2011
Siapkan selimut empat lapis. Gemeletuk gigi makin gigil menjelang dini hari. Aku hanya takut ada lidah yang terpotong. Lalu tertelan. Duh.
Januari 29, 2011
Darah di sikat gigi. Di lantai kamar mandi … Tuhan.
Februari 14, 2011
Keparat Kau, Tuhan!! Apa yang telah kami lakukan padaMu. Segala yang Kau titahkan, telah kami laksanakan. Semua laragan, kami jauhkan. Keparat!! Mengapa kami. Mengapa dia. Mengapa aku. Kasihani kami, Tuhan. Aku memohon, dengarkan aku! Dengar, Tuhan. Sekali ini saja dengarlah aku.
Februari 18, 2011
Oksigen. Cuma itu penyelesaiannya, pasti. Tabung oksigen mahal. Brengsek! Aku sudah tak punya uang. Tapi setidaknya akan meredakan sesak nafas sialan itu. Sebelum seluruh tubuh membiru.
Februari 28, 2011
Aku tau, ada puisi terselip di dasar laci. Ah, kau, masih saja semanis dulu. Andai Tuhanpun suka puisi, sayang.
Maret 10, 2011
Delapan bulan tak bercinta. Malam ini terasa surga. Ternyata di ambang neraka masih dapat kudapati nirwana. Dan kau, masih saja perkasa. Sialan! Aku kelewat bahagia, andai tak kulihat bintik di mata itu. Tanda terakhir sebelum mencapai tepi takdir.
“Ma, ada bintik merah di mataku”
Aku tau, akupun melihatnya tadi, usai kita bercinta. Bisa kita tak membahasnya?
“Hari ini jadwal cuci darah kan, Ma? Temani aku ya.”
“Tentu, sayang.” Hebat. Aku masih sanggup tersenyum.
*
09.52
Kau begitu kurus, sayang. Begitu menderita. Melihatmu terlelap tinggal rangka dan wajah pasi di antara selang dan tik-tak mesin ini, rasanya aku lebih baik mati.
11.47
“Berapa lama aku tertidur? Aku begitu merindukanmu dalam lelapku.”
Tidurlah sayang, paling tidak aku tau kau masih bernafas.
“Kita ambil kamar rawat inap malam ini, ya Ma. Aku ingin berdua saja denganmu.”
“Iya, terserah kamu aja, sayang. Aku urus administrasinya dulu kalau gitu ya. Kamu lapar? Aku beli roti sekalian, roti kopi kesukaanmu dan green tea latte favoritku. Makan berdua di atas ranjang, lantas bercinta sesudahnya. Seperti jaman kita remaja.”
Bercanda, tentu saja. Kau terkekeh, lemah. Tubuhmu mendadak terlihat begitu ringkih. Seolah akan hancur berkeping dengan satu sentuhan jari kelingking. Ingin kubutakan mataku agar tak mendapatimu seperti itu.
Tuhan, aku memanggilMu.
“Jangan, di sini sajalah kau. Jangan tinggalkan aku. Aku hanya perlu kau. Kemarilah, rebah di sampingku. Sudahkah kubilang tadi, aku merindukanmu?”
“Sudah, sayang. Sudah.”
“Ah, kalau begitu aku katakan saja tentang cintaku padamu. Aku mencintaimu, perempuanku.”
Dadamu tak sebidang biasanya. Tulang igamu sedikit menyakiti pipiku. Rasanya subuh tadi kau masih begitu perkasa. Seakan setiap menit waktu meniadakan berat tubuhmu.
“Dan aku, mencintaimu dengan luar biasa, lelakiku.”
Tuhan. Aku masih berlutut memohon.
Kau mendengkur, sayang. Ternyata sudah lelap tertidur. Tak sempatkah kau dengar gombalan puisiku barusan? Puisi yang sama yang ku ulang setiap hari. Semoga kau tak bosan.
“Aku mencintaimu, sayang. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu.”
Jangan berhenti. Kumohon jangan berhenti, sayang. Jangan hentikan dengkurmu. Aku masih ingin merapalkan cintaku, agar merasuk ke jantungmu. Aku masih ingin memutar lagukan cintaku, agar Dia mendengar kita, sayang. Kumohon jangan berhenti dulu. Tuhan belum sempat penuhi janji-Nya, kita belum bahagia sampai senja.
Kumohon, sayangku.
Kumohon, Tuhan.
Kumohon.
***
Maret 11, 2011
Lain kali aku akan mendebatkan para tetua, kenapa pemakaman selalu hitam dan putih. Membosankan. Semestinya merah. Seperti warna cinta. Toh ia tak ikut mati, bersamamu.
Kuaduk laci. Mencari puisi yang kutau kau tak ingin kutau sebelum kau pergi. Ada. Ah, bernoda darah. Malam itu pasti kau menderita.
Di dadaku, ada nyala api abadi
Untukmu, aku punya cinta yang melebihi usia matahari
Dan bila kelak langit kita mesti menemu tepi,
Di bibirmulah hendak kutitipkan matahari.

Ps: kukawinkan seluruh kata dalam puisi. agar kau tau, kita abadi. semoga kau menyukainya, Cinta.
Aku telah mengerti, Tuhan. Terima Kasih.
****
*based on true story, 2004*

Malam Ini, Cinta Mati

Malam ini,
Peri cinta tertidur
Menyalahi takdir
Malam ini,
Sebuah cinta terkubur
Menyalami getir
Aku
; musafir hilang asal, hilang pangkal
Tak lagi berumah, tanpa arah
– bahkan untuk dikenang, tak juga sekedar diimpikan.
Mataku,
Buta
Kehilangan cinta
Hatiku,
Mati
Baru saja tadi.

di Persimpangan Jalan Aku Bertemu Tuhan

baru saja,
di simpang jalan aku bertemu Tuhan
berbincang sebentar, sekedar bertukar sapa,
sebelum melangkah pulang

kami berkelakar
tentang hidup yang kelewat sukar
tentang tepi langit yang mulai pudar
tentang keimananku padaNya yang telah mengakar
damai, menyusup tulang sumsum
sampai sebuah sabda meletar telinga
masa, kataNya
;Tuhan tidak mengenal Tuhan
aku terbahak, tawa menggelegar
hingga nafasku tersengal. kupikir lagi-lagi Ia bercanda seperti biasa
namun Tuhan terdiam
-seperti biasanya bisu, setiap kali kita bertanya
lalu, sebuah kesadaran menamparku hingga terkapar
Tuhan memang jenaka, tapi Ia tak pernah bercanda
seolah gelap, menyekap
langit menantangku menjawab kebisuanNya.
Tuhan adalah Tuhan, bukan?
lantas mengapa Ia berkata, Ia bahkan tak mengenal Tuhan
lalu untuk apa aku pulang, tempat apa yang kutuju di ujung jalan
;rumah dengan kehangatan, ceruk tubuh menyimpan pengharapan.
bukankah telah kukenal dengan baik
arah rumah yang kutuju
di ujung jalan itu
bukankah telah kuhapal benar
segala kalam penunjuk jalan
ke rumah tujuanku
ataukah aku tak pernah benar-benar tau
mungkinkah pijar cahaya telah mengekalkanku dalam kebutaan
benarkah segala hal yang selama ini kuanggap sahih
namun Tuhan hanya diam,
-seperti biasanya bisu, setiap kali berjuta pertanyaan mengamuk dalam kepala
sekejap menghilang, Ia meninggalkanku sendiri
berayun-ayun memeluk kedua kaki.
langit masih gelap,
hitam. menantangku menjawab kesombongan
seakan menggeram
“bukankah kau tau segala yang kau pikir tau.”
kepalaku tercekat
di tanah ada jejak tanda Tanya yang mendekat
mengusikku yang tak mampu menjawab kesombonganku
sendirian
ditelanjangi rintik hujan, aku berayun
“lalu kemana aku harus pulang, Tuhan, aku hanya ingin pulang”
hujan menitik dari langit hitam
menangisiku yang merintih pilu
meraung lirih
hilang.

 

Sajak Sembilan Ubun-Ubun

redup cahaya
kilau keemasan di malam penuh tawa
;bergema mengisi kata-kata.
lampu-lampu jalan merekam cerita,
menerangi tubuh-tubuh
saling mencari tahu, menyimpan rindu.
hingga temaram sisa sepertiga malam
tak akan koyak oleh angin perubahan
senja kala mencoba mencerna kita
menggapai malam membaurkan kata,
melesapkan cahaya dalam doa-doa
tak bertuan, belum bertuhan.
sementara kenangan lesap menetap,
atau sekelebat numpang lewat
mencerca angin yang masuk turut,
sok akrab sok bersahabat.
ini cerita kita,
menukar suapan makanan
kesukaan milikmu dengan ciuman
tanpa tanya, hanya artikan cerita di pinggir jalan.
hingga segala cahaya itu luntur,
meredup kelam tenggelam berubah jadi malam,
hingga menjadi bias lepas merampas
keindahan jari-jari yang melekat erat.
sembilan ubun-ubun,
malam meremah di atasnya, biarkan saja!
lalu malam menuai-buai semua bual,
menjelma kenangan yang tak berbasuh
:embun musim kerontang.

Wanita yang Tak Pernah Tercatat Dalam Lembar Kalam

Aku berkenalan, dengan bayang tanpa nama
Yang kemudian kuketahui ia wanita
Sebab di tubuhnya kudapati liang senggama
Wajahnya ayu
Perempuan Bermata Sayu
Sudah kuputuskan, aku memanggilnya demikian
Ia tak pernah bersuara
Namun banyak sekali bercerita
Dengan bahasa yang lebih rahasia dari senja
Dikatakannya, Ia pengantin Adam
Si manusia kelahiran surga
Berasal mula dari debu, berjuta tahun lalu
Ia ada, jauh sebelum Hawa
Jauh sebelum wanita penuh rasa ingin tahu
Membelah bumi dan langit hingga manusia tercecer ke dunia
Ia mempelai surga
Dicipta sepasang dengan lelaki pertama
Tapi Tuhan lupa memberinya nama
Ada jeda,
Panjang, seperti jalan kereta …
Kutemui setitik gerimis di ujung mata
Mengisahkan kepedihan yang lebih kelam dari neraka
; Aku telah dihapuskan
Seolah tak pernah ada,
Aku tak pernah tercipta
Sejarah telah meniadakanku sebelum sempat menuliskanku
Bukan Tuhan lupa memberi nama
- Dia Maha Sempurna
Hanya sengaja berbuat kejam,
Pada wanita yang tak pernah tercatat dalam lembaran kalam

Keheningan menyayat sayat gemulai angin
Mencekatkan tangisan yang membeku dalam dingin
Riuh sunyi lantas membawanya pergi
Mengakhiri kisah yang tak pernah dimulai

Bukan Lelaki yang Kemarin Sore Menciumku di Atap Gedung

 

Papa,
Aku disuruh bikin cerita
Sejenis puisi prosa
Atau mungkin surat cinta
Temanya, tentang Ciuman Pertama
Berjam-jam lamanya aku menantap layar kosong
Di depanku, Bengong seperti dungu
Terdiam, jemariku bisu
Otakpun membeku
Bukan tak bisa buat cerita
Sekedar puisi sih, aku ahlinya
Apalagi surat cinta, bah! Aku kan pujangga
Tapi ini soal Ciuman Pertama …
Ci um an Per ta ma ku
Milik siapa,
Papa
Bukan lelaki yang kemarin sore menciumku di atap gedung penuh bunga
Bukan pula pria tampan yang waktu itu mencuri bibirku di dalam mobil
Bukan juga yang di beranda rumah, bioskop twenty one, toilet sekolah
Atau puluhan laki-laki dengan sejuta rayuan di ratusan tempat lainnya
Aku tau,
Ada yang lebih manis dari itu
Lebih suci dari perawan maria
Lebih tulus dari janji ksatria
Ciuman pertamaku, yang purba
Yang tak mampu kuingat, tapi jelas melekat kuat
Hari ketiga belas bulan sepuluh sembilan belas delapan empat
Dengan derai airmata dan adzan yang menggema
Bibirku, Papa, telah kau renggut lebih dulu
Pun cintaku yang luar biasa, adalah milikmu dari dulu
Dan kelak jadikanlah aku, pencium terakhirmu,
Setelah Ibuku.
“I love u, Daddy”

Sesuatu, yang Lalu Kita Amini Sebagai Cinta

Bayang gunung dan pepohonan
Gelayut kabut di dahan dahan
Dingin mencekam
Diselimuti gerimis langit malam
Puncak Pass,
Bulan sepuluh, Hari ketiga belas
Bangku taman menggigil
Menciutkan sisa nyali
Kita di sini demi kenangan, bukan?
Menggenapi janji yang lalu pernah kita ucapkan
Mencoba memanggil yang dulu pernah ada;
– sesuatu, yang lalu kita amini sebagai cinta
Namun telah sama kita tahui
Apa yang kita cari, takkan lagi kita temui
Apa yang pernah kita amini, takkan lagi bisa kembali
Cuma ada sedikit ingatan, dan kenangan yang sepi
Maka sudahlah,
Mari duduk di sini sajalah
Berdekatan bergenggam tangan
Berusaha berbagi kehangatan
Sebab malam sebentar bergegas
Memaksa kita segera berkemas
Meninggalkan gigil bangku taman
Menanggalkan kenangan, ingatan;
– sesuatu, yang lalu kita amini sebagai cinta


Sempat Kupeluk Kau Tadi, Matahari!

baru saja aku menikahi seseorang yang kebetulan bertemu di jalan
dia pria, separuh baya
bersumpah punya cinta yang melebihi luas semesta
merasa bisa melukisi langit tanpa kuas dan pena
“aku hanya perlu cinta”

baru saja aku bercinta dengan seseorang yang kebetulan bertemu di jalan
dia lelaki, bermata api
memiliki mimpi menjadi penguasa surga dan bumi
mengaku mampu meniadakan matahari hanya dengan jentikan jemari
“aku hanya perlu mimpi”
lalu terlahir anak angin
kami mengajarinya soal cinta,
- yang melebihi luas semesta
mengajarinya soal dunia,
- sebelum kelak melukisi langit
tapi ia tertarik Cahaya,
aku ingin menyentuh Matahari, Ibu
kita punya mimpi. kita datangi Maha Api!!
anak angin belajar terbang
melayang menantang matahari,
lantas mati digerus api
tak kusesali matiku, sempat kupeluk Kau tadi, Matahari!
baru saja aku ditinggalkan oleh seseorang yang kebetulan bertemu di jalan
matanya pasi, tak lagi punya mimpi
di genggamannya, seonggok hati merah muda hancur terburai
“aku tak lagi ingin cinta”
aku berjalan, melanjutkan perjalanan yang tertunda mimpi
ditemani terang cahaya dan riang suara;
“kita punya mimpi, Ibu, kita hamili Matahari!”

Di sini Tuhan Sudah Mati

 hutan rusak
tanah-tanah retak
serabut ranting tergeletak
lelumut kering mengerak
; mati.
alam sepi,
langit tanpa isi
gerak angin di udara terhenti
rambut cahaya muram menepi
; hampa.
tak ada apa-apa di sini
tak ada suara, maupun sisa tawa
tak ada lirih tangisan bumi
; sunyi.
seperti dunia yang tak pernah tersapa cinta
sehelai bulu
elang, menggeliat gelisah sebelum jatuh
menyentuh tanah
mendesah
“pergi! di sini Tuhan sudah mati”

Sudah Tidur, Tuhan [?]

sudah tidur, Tuhan ?
ah, aku lupa atau memang selalu alpa
; Kau tak pernah terlelap, bukan
mungkin
hanya mungkin
- aku tak tau, toh kita tak pernah bertemu -
di malam malam hening dan nafas alam yang kering
seperti kelam ini,
Kau, Gusti, sedang menunggu
hamba hamba seperti aku
datang selalu dengan luka terbuka
dan tangis berderai duka
; berlutut, bersujud, bersimpuh patut
di kakiMu,
Pangeran
ini kali aku kembali
tanpa lara, tak ada airmata
sekedar ingin bertanya
; di manakah Adam yang lalu pernah Kau janjikan ?

 

Perkabungan rindu

asap putih
di suatu pagi yang putih
sisa bakaran rindu semalam
dan cinta yang buram

matahari kelabu
beranjak meringsak butiran abu
berkabung pilu,
atas sesuatu yang malam tadi berlalu
rembulan memantul di keningmu dengan tegas; tubuhmu, adalah puisi, yang memaparkan birahi dengan lugas. meluruhlah kau di antara kata, dalam sajak yang terjejak di aliran nadiku; berpuisikan cintamu. tubuhmu adalah sajak panjang tanpa katakata; tempat segala rindu dan kesedihan mencari makna. dan aku, ingin bercanda dengan para dewa yang berlarian di buah dadamu, menggembala birahi, di sekujur tubuhmu.
“o lelakiku, merasuklah dalam makna, sisirilah tepitepi kata; yang berdesir anggun — setiap kali napasmu menyentuh birahi. setiap kau memelukku, setiap kali kau lepaskan hasratmu, cinta; setiap kali pula kau bangkitkan birahi kesakitanku. ketahuilah, saat pijar birahi bergetar di tubuh kita, sebuah dosa, perlahan menjelma hamparan surga. mencumbuimu; melontarkan dosa ke balik dinding surga. di antara geliat tubuh kita, neraka — adalah fana.”
jika cinta, dan juga birahi di dadamu adalah surga; aku akan meminta Tuhan menyimpan surga yang dijanjikannya. kelak, aku ingin memanjatkan doa, di sebuah tempat peribadatan, dengan buah dadamu sebagai kubahnya. di sini, takada tuhan, dan doa yang terpanjat di antara belahan dada — adalah nikmat yang diamini para malaikat. wangi dupa, harum doa adalah ritual semata. begitu sumpah terucapkan, telah kita benarkan ketidak-percayaan. lalu, mari kita bincangkan satu dosa – di mana tuhan menutup mata, malaikat mematahkan pena; cinta, kita.

Sepotong Bibir Merah Muda di atas Meja

Sepotong bibir merah muda di atas meja
menggoda gairahku untuk bercanda
kepingan-kepingan ingatan seketika menyesakkan kepala
aku menggila pada sesibir bibir merona milik seorang ksatria
Lalu seketika
aku tersesat ke dalam khayal imaji
tentang cinta yang yang birahi
memutar kenangan di kepala
terekam jelas meski bernoda
; hitam memudar seperti tayangan sebuah film tua
Masih dapat kunikmati dengan benar
bahkan terasa bergetar
bibir merah muda yang pertama malu-malu
lalu menjarah dahaga dengan lugu
basah dalam geliat
melekat erat
hingga kurasakan neraka terlpental ke alam baka
dan surga memijak dunia
Kitalah pendosa di ciuman pertama
geliat birahi yang ditarikan seronok oleh sepasang lidah dalam pagutan
merajam kita ke dalam dosa ternikmat yang diamini para malaikat
Dan hidupku tak pernah sama lagi
- sepotong bibir merah muda telah membakar surga persemayaman dewata
Aku yang dahaga, haus akan cinta
segala Tuhan-pun tak mampu memuaskan dahaga akan rinduku
yang meranggas di setiap detak-detik waktu
merindu cintamu
melapar oleh bibirmu
Buah terlarang dari surga, menjelma sebentuk bibir merah muda
; milik lelaki yang didahagakan cinta
Sudah, sudahilah senja ini
sisakan ciuman-ciuman untuk malam nanti aku bermimpi
; tentang sepotong bibir merah muda, penjarah sepi

Anganku melayang
Mimpi mendatangi lelapnya tidur

Aku bertanya;
apakah kau datang untuk memberikan cinta

Jika memang itu nyatanya,
aku rela menerima

Terbukti Adam lahir bukan untuk memperkosa Hawa

Apa mungkin
diriku Hawa
dan kaulah Adam
atau,
mungkinkah suasana
menjadikan kita
memiliki rasa


Senja Di Balik Kaca

Aku lupa,
sore sudah turun berapa lama
Langit telah berganti jubah;
biru – putih – emas – merah
selalu penuh rahasia, tak terduga.

Aku lupa,
sedang berada dimana
– di antara bukit-bukit keemasan,
pohon-pohon berjejeran,
segalanya melesat terlalu cepat, tak terbaca.

Selintas,
pandangku menangkap bola api saga,
terpantul dari kaca yang sempat terjangkau mata;
Melayang sendirian diantara semburat langit emas,
Berdiam menggeliatkan sengit yang meranggas.

Aku terpesona.

Tetiba langit jatuh,
menimpaku. Menimpa ingatan, lalu melontarkanku seketika
ke dalam sore yang jauh;
ke dalam senja yang purba;

Masih sama merah,
kali itu terpantul dari bola matamu,
yang sama juga merah,
yang terpaku menatapku;

bercumbu, berpagut, bercinta
dengan lelaki yang entah siapa
– Aku lupa.

Kala itu,
sebuah senja terpantul di bola mata,
mengeruh, mengeras, mengerak,
tinggal kelam.

Kini,
sebuah senja terpantul di balik kaca
memudar, memendar buram
kutinggalkan dalam rengkuhan malam

Aku melaju,
menanggalkan masa lalu;
meninggalkanmu,

meninggalkan senja kelam di bola matamu,
dari balik kaca;
hatiku.

sumber oleh : @topeng2kaca  SelebTwitt